Birgitta Ajeng
Birgitta Ajeng
  • Home
  • About
    • Portfolio
  • Wellness
    • Mind Health
    • Body Health
    • Soul & Spirituality
  • Parenting
  • Review
    • Buku
    • Film & Series
  • Writing 101
    • Writing Coaching
    • Writing Tips

Wellness

Review

WRITING 101

Saya adalah seorang istri sekaligus ibu dari satu anak perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap dunia psikologi. Dalam berkarier sebagai jurnalis selama 12 tahun, saya sudah memiliki hubungan akrab dengan dunia kesehatan lewat liputan dan wawancara narasumber untuk kemudian saya ramu menjadi karya jurnalistik.

Tidak hanya meliput dan mewawancarai dokter sebagai bahan tulisan atau video, saya juga bertemu dengan psikolog. Saya masih ingat momen pertama bertemu psikolog saat hendak menulis soal pola asuh anak untuk tulisan saya di Majalah Intisari, Kompas Gramedia Majalah Group. Ketika itu, saya mewawancarai psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani di kantornya kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.

Seiring waktu, saya semakin sering menulis tentang topik-topik yang membutuhkan wawancara psikolog, mulai dari pola asuh, hubungan asmara, kesehatan mental, hingga pengembangan diri. Saya sempat terjun ke ranah teknologi dan gaya hidup saat bekerja, tapi ketertarikan saya terhadap dunia psikologi tak jua padam.

Saya masih memiliki tertarik membaca buku-buku pengembangan diri, seperti Berani Tidak Disukai karya Ichiro Kishimi & Fumitake Koga; When to Walk Away, Finding Freedom from Toxic People karya Gary Thomas; Boundary Boss, Berani Tentukan Batasan karya Terri Cole; dan lainnya.

Saya juga senang menonton film atau serial yang mengangkat isu kesehatan mental, pengembangan diri, atau psikologi. Pengetahuan yang saya dapat dari membaca buku dan menonton film atau serial sering saya bagikan di media sosial pribadi saya.

Dengan latar belakang tersebut, saya pun memutuskan memberi ruang untuk diri sendiri menekuni pendidikan psikologi secara formal. Dengan fondasi ilmu yang kuat, saya semakin bisa membagikan pengetahuan tentang pola asuh, hubungan asmara, kesehatan mental, hingga pengembangan diri untuk pemberdayaan sesama. Saya percaya bahwa ilmu yang terstruktur akan membantu saya memahami berbagai aspek psikologi dengan lebih mendalam dan dapat diaplikasikan secara lebih luas.

Pemberdayaan Diri Sendiri dan Sesama

Ilustrasi: Unsplash

Mengapa saya terpanggil untuk memberdayakan sesama? Ini semua tidak terlepas dari diri saya yang senang belajar dan mengolah diri. Saat menghadapi masalah dalam hidup, saya adalah tipe orang yang kerap menavigasi diri sendiri, mencari tahu sebabakibat, kemudian mencari solusi atas masalah saya. Saya percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk berkembang, asalkan memiliki akses terhadap informasi dan dukungan yang tepat.

Menekuni profesi jurnalis–yang membutuhkan kepekaan terhadap isu yang sedang berkembang dan kemampuan terjun langsung ke lapangan–juga semakin mengasah panggilan hati saya untuk dapat hadir di tengah masyarakat untuk membawa semangat pemberdayaan.

Saat pandemi COVID-19, misalnya, saya melihat orang-orang di sekitar–dan saya sendiri–mengalami kesedihan karena mendengar kabar duka atas kehilangan orang-orang terdekat secara bertubi-tubi. Di tengah kondisi yang tak pasti, kabar tersebut bisa jadi meruntuhkan pertahanan kesehatan mental banyak orang.

Saya pun tergerak menulis tentang self-healing di kumparanWOMAN, supaya para pembaca dapat mengolah emosi negatif secara tepat. Kala itu, saya menulis dengan sumber data dari hasil wawancara psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener.

Di masa depan, tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi serupa dapat terjadi. Krisis, pandemi, atau bencana bisa menjadi tantangan yang menggoyahkan keseimbangan emosional banyak orang, terutama mereka yang masih berusaha menemukan pijakan yang kuat dalam hidupnya.

Karena itu, saya ingin menempuh Program Studi Psikologi di Universitas Pelita Harapan untuk dapat menjadi terang bagi sesama. Dengan ilmu yang saya pelajari, saya berharap dapat memberikan dampak positif, baik bagi individu yang membutuhkan pertolongan maupun bagi masyarakat luas.


Saat oracle reading dengan seorang klien, salah satu kartu yang muncul: Love. Kartu ini memberi pesan penting tentang awal mula manusia semestinya belajar arti cinta, yakni dengan mencintai diri sendiri terlebih dahulu.

“Tapi gimana caranya mencintai diri sendiri, Jeng?” tanya klienku.

Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu melempar aku ke momen pertama mengenal konsep ‘love yourself’ beberapa tahun silam. Waktu itu tahun 2018, aku menonton drama Korea It’s Okay, That’s Love.

Ada adegan tokoh utama laki-laki yang yang berjuang menyembuhkan trauma berat di masa kecil. Di akhir episode, setelah bisa memproses trauma dan menyembuhkan diri, dia mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri setiap hari.

Sebagai penulis sekaligus penyiar radio, dia mengutarakan konsep terima kasih itu saat siaran. Orang-orang yang mendengarkan pun mengikuti dia. Banyak yang mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri di depan cermin sambil tersenyum.

Serial itu meninggalkan kesan mendalam di hati aku. Tapi di titik itu, aku baru mengenal ‘love yourself’ masih berupa konsep atau gagasan, belum benar-benar mempraktikannya.

Selang beberapa tahun, muncul istilah ‘self reward’ yang popular di media sosial. Aku pun terbawa dengan tren itu. Ada fase ketika aku gemar membeli barang-barang bermerek atau menyantap makanan yang harganya bisa sampai ratusan ribu rupiah sekali makan sebagai hadiah untuk diri sendiri yang telah berhasil mencapai tujuan-tujuan kecil atau besar.

Akan tetapi, semakin sering aku membeli—untuk memuaskan hasrat ‘self reward’, bukan untuk memenuhi kebutuhan primer—semakin aku tidak menemukan apa-apa. I felt unfulfilled.

Aku Berhenti Mencari Arti Cinta di Luar

Love yourself, love life, love your past, love your experiences, love what is obvious, love synchronicities. (Foto: Unsplash)

Pencarian aka tentang makna ‘love yourself’ tidak berhenti di situ. Pandemi ternyata telah memberikan aku sebuah perjalanan sekaligus titik balik untuk secara perlahan tidak lagi mencari arti ‘love yourself’ pada kebendaan.

Selama masa social distancing, diri ini tergerak untuk mempraktikan berbagai metode perawatan diri, dari berolahraga, latihan meditasi, hingga menulis jurnal. Setelah rutin melakukannya—sampai hari ini—aku menemukan kesimpulan: mencintai diri sendiri berarti merawat fisik dan jiwa.

Seperti yang sudah aku tulis di artikel Apa Bedanya Meditasi dan Berdoa, melalui meditasi, kita sebenarnya sedang berkomunikasi dengan diri sendiri. Dalam keseharian, kita sering berharap orang-orang terdekat—seperti pasangan atau keluarga—bertanya soal kabar kita.

Ketika itu tidak terjadi, kita bisa merasa tidak diperhatikan. Melalui meditasi, kita sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut: didengar. Kita belajar untuk hadir bagi diri sendiri—mendengarkan sensasi tubuh, pikiran, bahkan suara hati atau intuisi.

Menulis jurnal pun menjadi jembatan untuk kembali terhubung dengan diri. Kita mengenali emosi yang ada dalam diri, sekaligus memberi tempat bagi rasa syukur. Sementara itu, tubuh—yang selama ini menjadi rumah bagi jiwa—juga layak dirawat, dan olahraga adalah salah satu bentuk kasih yang bisa kita berikan padanya.

Setelah mengingat kembali proses aku memaknai ‘love yourself’ sejenak, aku berkata kepada klien, “Kamu bisa mulai meluangkan waktu untuk me time. Nggak harus lama atau seharian, tapi bisa menyisihkan 30 menit setiap hari.”

Klien aku masih menyimak.

“Di waktu tersebut, kamu bisa meditasi, kemudian dilanjutkan berdoa,” kataku.

“Iya, aku pun sekarang kalau berdoa rasanya kosong. Aku memang sedang mengalami kehampaan hidup.”

“Kegiatan apa yang kamu suka? Apakah kamu saka membaca buku? Berolahraga? Atau membuat kue?”

“Aku suka berkebun.”

“Berkebunlah. Beri ruang untuk dirimu melakukan hal-hal yang kamu suka di sela-sela rutinitas.”

Oracle reading dengan salah satu klien di luar kota. (Foto: Birgitta Ajeng)

Begitulah kurang lebih obrolan aku dan klien dari luar kota ini seputar tema love yourself dalam sesi oracle reading secara online. Mencintai diri sendiri adalah bentuk perhatian yang tulus—memberikan waktu, hati, dan pikiran bagi diri kita sendiri.

Dengan mencintai diri, kita juga belajar menetapkan batas, menghindari hal-hal yang menguras, dan mulai mendengarkan kebutuhan tubuh serta jiwa kita. Bukan soal memanjakan ego, tapi memahami bahwa merawat diri adalah kebutuhan dasar setiap manusia.

Pesan yang hadir lewat kartu Love mengingatkan kita: saat kita mampu mencintai diri sendiri, kita pun lebih mampu membangun hubungan yang sehat—baik dengan orang terdekat maupun dengan lingkungan tempat kita berpijak.



Pandemi adalah titik balik buat aku. Selama masa social distancing, aku mulai mengenal berbagai cara untuk merawat diri, dari berolahraga, latihan meditasi, hingga menulis jurnal. Dari coba-coba, lama-lama jadi suka. Sampai akhirnya ada yang bertanya: Apa bedanya meditasi dan berdoa? Atau bagaimana kalau meditasi dilakukan sambil mendengar lagu rohani?

Meditasi dalam dunia wellness atau praktik spiritualitas modern—seperti pola hidup mindfulness—memang biasanya dilakukan menggunakan musik atau melodi tanpa lirik, dan dengan atau tanpa seorang pembimbing.

Di era sekarang marak dikenal meditasi mindfulness sebagai praktik yang melibatkan pemusatan perhatian pada momen saat ini, tanpa menghakimi atau menganalisis, untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih besar terhadap pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh. Ini adalah cara melatih pikiran untuk mengurangi kecenderungan terjebak di masa lalu atau masa depan.

Menurut National Health Interview Survey dalam publikasi berjudul Meditation and Mindfulness: Effectiveness and Safety, jumlah orang dewasa di Amerika Serikat yang melakukan meditasi meningkat dua kali lipat antara tahun 2002 dan 2022, yakni dari 7,5 menjadi 17,3 persen. Sementara itu, survei serupa pada tahun 2012 di Amerika Serikat, ada 1,9 persen dari 34.525 orang dewasa melakukan meditasi mindfulness secara eksklusif.

Sebanyak 73 persen responden melaporkan bahwa mereka bermeditasi untuk kesehatan secara menyeluruh dan mencegah penyakit. Kebanyakan dari mereka juga mengaku bermeditasi untuk relaksasi dan mengurangi stres. Lebih dari setengahnya juga punya keinginan untuk mendapatkan kualitas tidur lebih baik setelah bermeditasi.

Apa Itu Meditasi dan Bedanya dengan Berdoa?

Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengenal sejarah dan definisi meditasi terlebih dulu. Masih dari publikasi Meditation and Mindfulness: Effectiveness and Safety ditulis, “Meditasi memiliki sejarah yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, dan banyak teknik meditasi bermula dari tradisi Timur.”

Dalam jurnal Meditation: Process and Effects, praktik meditasi berawal dari zaman Weda di India dan dijelaskan dalam teks-teks Weda. Meditasi adalah salah satu metode yang digunakan dalam Ayurveda (Ilmu Kehidupan), sistem perawatan kesehatan alami komprehensif yang berawal dari zaman Weda. Menurut ilmu Weda, tujuan meditasi adalah menghubungkan diri dengan batin manusia yang terdalam.

Sementara itu, Psychology Today menulis bahwa meditasi adalah latihan mental untuk melatih attention dan awareness. Tujuannya adalah untuk meredam reaksi atas pikiran dan perasaan negatif yang dapat mengganggu dan menyita perhatian dari waktu ke maktu.

Dalam artikel How Meditation Changes the Brain and Body dari The New York Times dijelaskan bahwa diperkirakan ada beberapa manfaat dari meditasi mindfulness: mengurangi stres dan risiko terhadap berbagai macam penyakit; meningkatkan well-being (kondisi di mana seseorang merasakan bahagia, puas, dan memiliki kualitas hidup yang baik); dan rewired brain atau proses pembentukan ulang jalur saraf di dalam otak. Hanya saja, dasar eksperimental yang mendukung klaim-klaim tersebut masih minim.

Meski demikian, The New York Times mengungkapkan sebuah studi yang dimuat di jurnal Biological Psychiatry pada Februari 2016 menunjukkan dengan lebih ilmiah bahwa meditasi mindfulness benar-benar bisa mengubah otak orang biasa dan mungkin bisa meningkatkan kesehatan mereka—tidak seperti plasebo.

Lantas, apa bedanya meditasi dan berdoa? Atau bagaimana kalau meditasi dilakukan sambil mendengar lagu rohani?

Merujuk pada penjelasan di atas, meditasi sebenarnya adalah praktik yang berfokus pada komunikasi dengan diri sendiri. Dalam keseharian, kita sering berharap orang-orang terdekat—seperti pasangan atau keluarga—bertanya soal kabar kita.

Ketika itu tidak terjadi, kita bisa merasa tidak diperhatikan. Melalui meditasi, kita sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut: didengar. Kita belajar untuk hadir bagi diri sendiri—mendengarkan sensasi tubuh, pikiran, bahkan suara hati atau intuisi.

Sementara itu, berdoa atau merenungkan lagu rohani adalah bentuk komunikasi kita dengan Tuhan. Lewat lagu, kita bisa mengekspresikan rasa syukur, menyampaikan permohonan, atau meluapkan keluh kesah kita sebagai manusia kepada-Nya.


Sumber:

Meditation and Mindfulness: Effectiveness and Safety https://www.nccih.nih.gov/health/meditation-and-mindfulness-effectiveness-and-safety

Meditation: Process and Effects https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4895748/#:~:text=The%20practice%20of%20meditation%20originated,ancient%20Vedic%20times%20of%20India.

Meditation https://www.psychologytoday.com/us/basics/meditation?utm_source=chatgpt.com

How Meditation Changes the Brain and Body https://archive.nytimes.com/well.blogs.nytimes.com/2016/02/18/contemplation-therapy/


Bagi pasangan yang sedang berjuang mendapatkan momongan, program bayi tabung atau IVF (In Vitro Fertilization) bisa menjadi solusi terbaik. Namun, ada berbagai metode IVF dengan pendekatan yang berbeda, salah satunya mild stimulation IVF.

Selama ini, kebanyakan orang mungkin hanya mengenal metode IVF konvensional, di mana pasien diberikan stimulasi hormon dalam dosis tinggi untuk merangsang ovarium menghasilkan banyak sel telur.

Metode ini memang meningkatkan peluang keberhasilan, tetapi juga memiliki risiko efek samping, seperti sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS), ketidaknyamanan akibat banyaknya suntikan, serta biaya yang lebih besar.

Namun, ada juga metode yang lebih alami, minim risiko, dan tetap efektif dalam meningkatkan peluang kehamilan, yakni mild stimulation IVF. Apa itu mild stimulation IVF dan bagaimana tahapan metode ini? Yuk, kita kenalan lebih lanjut.

Apa Itu Mild Stimulation IVF?

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Secara sederhana, IVF atau bayi tabung adalah proses pembuahan di luar tubuh yang umumnya menggunakan stimulasi hormon untuk meningkatkan produksi sel telur. Dalam IVF konvensional, dosis obat hormon yang diberikan cukup tinggi, yang bisa menyebabkan efek samping seperti sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS).

Nah, di sinilah mild stimulation IVF menjadi alternatif yang lebih nyaman. Metode ini tetap menggunakan obat hormon, tetapi dalam dosis lebih rendah, sehingga lebih alami, mengurangi risiko efek samping, dan lebih ramah bagi tubuh.

Menurut dr. Muhammad Dwi Priangga, Sp. OG, Subsp.FER, Direktur PT Kato Ojin Group, metode ini lebih lembut bagi tubuh dan tetap memberikan peluang keberhasilan tinggi. “Dengan stimulasi yang lebih ringan, sel telur yang dihasilkan cenderung lebih sehat dan lebih siap untuk implantasi. Selain itu, metode ini mengurangi risiko keguguran, kelahiran prematur, hingga pre-eklampsia,” jelasnya.

Tak hanya itu, dibandingkan dengan metode konvensional, mild stimulation IVF lebih hemat biaya karena penggunaan obat yang lebih sedikit dan tidak memerlukan terlalu banyak intervensi medis. Artinya, pasien bisa mencoba program IVF lebih sering dalam waktu yang lebih singkat, meningkatkan peluang keberhasilan tanpa harus melalui prosedur yang berat.

Tahapan Program Mild Stimulation IVF

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Menurut dr. Eko Santoso, SpOG, tidak ada batasan usia khusus untuk menjalani program ini, asalkan pasien masih berada dalam usia produktif dan memiliki cadangan sel telur yang cukup. Justru, metode ini sangat cocok bagi pasien yang memiliki cadangan sel telur rendah atau ingin menghindari penggunaan obat hormon dalam jumlah besar.

Namun, jika cadangan sel telur sudah benar-benar habis atau pasien sudah memasuki masa menopause, metode ini tidak bisa lagi dilakukan. Oleh karena itu, konsultasi awal dengan dokter fertilitas sangat penting untuk menentukan program yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing pasien.

Sebelum memulai program IVF dengan stimulasi ringan, ada tahapan persiapan yang berlangsung sekitar satu siklus haid. Selama periode ini, pasien akan menjalani drug-free follow-up untuk melihat kondisi kesuburan dan persiapan lainnya.

Setelah itu, stimulasi ringan dimulai pada hari ketiga siklus haid dengan penggunaan pil oral atau injeksi dalam dosis kecil. Perkembangan sel telur dipantau melalui USG dan tes darah hingga akhirnya dilakukan ovum pick-up (OPU) sekitar 35 jam setelah pematangan sel telur.

Selain aspek medis, menjaga kesehatan fisik dan mental selama program IVF juga sangat penting. Pasien dianjurkan untuk menerapkan gaya hidup sehat, seperti:

  • Konsumsi makanan bergizi tinggi yang mendukung kesuburan.
  • Tidur cukup dan mengelola stres dengan baik.
  • Berolahraga secara rutin tanpa berlebihan.
  • Mendapatkan dukungan emosional dari pasangan dan keluarga.

“Dukungan dari pasangan dan keluarga juga berperan besar dalam keberhasilan IVF. Pilihlah waktu yang tepat untuk menjalani program ini, misalnya tidak dalam kondisi pekerjaan yang sangat sibuk atau dalam situasi keluarga yang kurang stabil,” tambah Eko.

KOIC: Klinik Fertilitas untuk Mild Stimulation IVF

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Di Indonesia, salah satu klinik fertilitas yang mengedepankan metode mild stimulation IVF adalah Kato Ojin IVF Center (KOIC). KOIC mengadopsi metode dari Kato Ladies Clinic Jepang, yang telah terbukti memiliki tingkat keberhasilan tinggi.

Dengan pendekatan yang lebih alami dan minim risiko, KOIC membantu pasien bukan hanya untuk hamil, tetapi juga menjalani kehamilan yang sehat hingga persalinan. Bahkan, tingkat keberhasilan KOIC mencapai 62,5 persen, jauh di atas rata-rata keberhasilan IVF di Indonesia yang berkisar 30-40 persen.

Bagi kalian yang sedang mempertimbangkan program bayi tabung, mungkin mild stimulation IVF bisa menjadi pilihan terbaik. Dengan metode yang lebih alami, minim risiko, dan lebih hemat biaya, perjalanan menuju dua garis biru bisa jadi lebih nyaman. Jangan lupa, selalu konsultasikan dengan dokter spesialis fertilitas untuk mendapatkan rekomendasi terbaik sesuai kondisi tubuh kalian.



Foto-foto bahagia tergantung di dinding rumah, ibu yang rajin memasak, dan bapak yang kelihatan sehat serta bugar. Eddie dan Manda tampak berhasil membangun keluarga sempurna dalam Adolescence, serial drama kriminal yang tayang di Netflix.

Namun, di balik keharmonisan itu, sebuah tragedi terjadi. Jamie, remaja 13 tahun, ditangkap atas tuduhan pembunuhan. Apa yang salah dalam pola asuh Eddie dan Manda, sehingga tanpa sadar mereka menciptakan monster dalam diri Jamie?

Adolescence bukan sekadar drama kriminal, tetapi juga mengangkat berbagai isu, mulai dari bullying, dampak media sosial pada anak, hingga trauma lintas generasi akibat pola asuh yang keliru.

Salah satu poin yang perlu ditekankan di sini adalah bagaimana warisan trauma generasi dan pola asuh yang salah dapat menciptakan lingkaran kekerasan yang terus berulang.

Trauma Generasi yang Belum Putus

Eddie jadi pendamping Jamie saat proses penyidikan di kantor polisi. (Foto: Netflix.com)

Jamie tumbuh menjadi anak yang temperamental dan kasar karena pola asuh ayahnya, Eddie, yang juga dibesarkan dalam lingkungan serupa. Di episode terakhir, Eddie bercerita bahwa dirinya pernah mengalami kekerasan dari ayahnya.

Eddie berjanji tidak akan melakukan apa yang dilakukan oleh ayahnya kepada anak-anaknya. Tapi, meski tak pernah memukul, sifat pemarahnya tanpa sadar tetap terpancar dalam kehidupan sehari-hari.

Jamie sendiri mengaku kepada psikolog klinis dalam wawancara di kantor polisi bahwa ayahnya pemarah. Bahkan, pernah suatu kali, Jamie melihat ayahnya menghancurkan gudang karena emosi. Selain itu, Jamie juga tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya.

Ketika ditanya oleh psikolog klinis, "Apakah ayahmu penyayang?"

Jamie menjawab, "Tidak. Itu aneh."

Didikan keras yang Eddie terima dari ayahnya membentuk konsep dirinya yang penuh keraguan, terutama dalam hal maskulinitas. Dengan kata lain, Eddie mengalami krisis maskulinitas. Ia pun berusaha membuktikan diri dengan rajin berolahraga, sesuatu yang kemudian ia paksakan kepada Jamie. Jamie didaftarkan les sepak bola dan tinju, meski bakatnya justru ada di menggambar.

Sayangnya, minat Jamie diabaikan. Orang tuanya lebih peduli pada standar maskulinitas yang mereka anggap benar. Padahal, Jamie sendiri merasa tidak berbakat dalam olahraga dan sering membolos dari kelas olahraga di sekolah.

“Ya, aku tak pandai berolahraga. Aku pandai mambolos dari kelas olahraga,” kata Jamie sambil menggaruk leher belakangnya tanda ia mengalami ketegangan emosional, entah itu rasa bersalah, ketidaknyamanan, atau kegelisahan.

Gaslighting dalam Pola Asuh Jamie

Jamie saat diwawancara oleh psikolog klinis di kantor polisi. (Foto: Netflix.com)

Selain diabaikan, Jamie juga mengalami gaslighting dari orang tuanya. Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis di mana seseorang membuat orang lain meragukan ingatan, persepsi, atau kewarasannya sendiri. Tujuannya sering kali untuk mengendalikan, mendominasi, atau membuat korban merasa bingung dan bergantung pada pelaku.

Dalam serial ini, perasaan Jamie sebagai seorang anak tidak pernah divalidasi. Dałam wawancara denga psikolog klinis, Jamie bilang bahwa ayahnya tahu kalau dia tidak menggemari olahraga. Namun, ayahnya tetap mengikutkannya sepak bola. Jamie bahkan tampak menahan emosinya saat dia bercerita tentang sikap ayahnya yang berpaling begitu saja saat permainan sepak bolanya payah.

Kemudian ketika psikolog klinis bertanya, “Bagaimana perasaanmu saat melihatnya malu."

“Seharusnya kau bilang dia tak malu," kata Jamie.

“Begitukah?”

"Ya. Seharusnya kau bilang, ‘Dia tak malu. Itu cuma perasaanmu.’ Atau kau sungguh berpikir begitu? ‘Dia tak akan malu dengan anaknya,’” kata Jamie yang mulai marah.

“Orang lain bilang begitu?" tanya psikolog klinis.

“Itu ucapan yang pantas.”

“Bukankah itu bohong?”

“Tidak,” kata Jamie.

Jawaban ini menunjukkan bagaimana Jamie terbiasa tidak dipercaya atas perasaannya sendiri. Bukti gaslighting lainnya terlihat saat Eddie dan Manda mengobrol tentang Jamie. Di sini, Eddie masih berpendapat bahwa apa yang terjadi pada anak-laki-lakinya bukanlah kesalahan mereka.

"Jangan salahkan diri sendiri," kata Eddie.

Manda pun langsung meluruskan persepsi suaminya dengan bilang, "Namun, dia didikan kita."

Pernyataan Manda menegaskan satu hal yang selama ini diabaikan Eddie: orang tua punya andil dalam membentuk anak mereka. Bukan soal menyalahkan diri sendiri, tapi soal berani mengakui kenyataan.

Melihat Motif Jamie Lewat Karakter Ayahnya

(Foto: Netflix.com)

Serial yang dirilis pada 13 Maret 2025 ini tidak mengungkapkan secara gamblang motif tindak kriminal yang dilakukan Jamie. Sepanjang penyidikan pun, Jamie selalu bilang bahwa dia tidak melakukan apa-apa.


Di akhir sesi wawancara dengin psikolog klinik, Jamie tanpa sadar mengaku bahwa dia membawa pisau saat bertemu Katie. Lantas, apa motifnya melakukan pembunuhan?


Kita dapat mencari jawabannya lewat karakter Eddie. Di salah satu adegan dalam episode terakhir, Eddie bersikap agresif kepada sekelompok pemuda yang mencoret mobilnya. Kemarahan muncul sebagai respons dari bullying dan pembuktian maskulinitas dalam diri Eddie.


Hal yang sama terjadi pada Jamie. Bullying yang dilakukan oleh Katie terhadap Jamie pun melukai maskulinitas Jamie. Namun karena masih belia dan tanpa bimbingan yang tepat, Jamie mengungkapkan amarahnya dengan cara yang ekstrem. Trauma, pola asuh kasar, dan gaslighting yang ia alami menjelma menjadi tindakan kriminal.

Setelah bertemu dengan beberapa mentor dan menyimak konten para coach, aku mulai menyadari ada perbedaan dalam cara mereka membimbing.

Ada mentor atau coach yang sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Salah satu ciri utamanya adalah dia memiliki detachment dengan mentee secara alami. Dia bisa tetap mendampingi tanpa merasa perlu mengendalikan.

Terlepas mentor atau coach itu sadar atau nggak dengan detachment itu, ada rasa percaya dalam dirinya bahwa setiap orang—termasuk mentee—punya perjalanan hidup dan pembelajaran masing-masing. Perannya sebagai mentor atau coach adalah mendukung dan membimbing, bukan mengambil alih keputusan.

Karena itu, yang ia bagikan lebih banyak seputar hal-hal yang benar-benar bermanfaat, baik untuk pengembangan diri maupun profesionalisme. Tidak ada ambisi tersembunyi untuk mencari keuntungan, baik secara materi, ketenaran, maupun pengaruh. 

Sebaliknya, ada juga mentor atau coach yang masih bergulat dengan dirinya sendiri. Biasanya, mereka lebih cenderung mengontrol, memberikan arahan berdasarkan keinginan pribadi, bukan berdasarkan kebutuhan mentee.

Kadang, saran yang mereka berikan bukan murni untuk kepentingan mentee, tapi lebih sebagai refleksi dari luka atau trauma yang belum selesai.

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Misalnya, seorang coach yang sangat ambisius mungkin akan mendorong mentee untuk terus mengejar target, meskipun mentee tersebut sebenarnya lebih nyaman dengan pendekatan yang lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Alih-alih memahami, mentor atau coach seperti ini bisa saja melabeli mentee sebagai "kurang usaha" atau "pemalas".  

Ada pula yang merasa keberhasilan mentee adalah cerminan dirinya, sampai muncul kalimat seperti: "Dia bisa sampai di titik ini karena aku. Tanpa aku, dia gak akan berhasil."

Tentu, tulisan ini bukan tentang menghakimi mentor atau coach yang masih dalam proses penyembuhan. Setiap orang punya luka dan tantangan hidupnya sediri.

Coach yang aku anggap sudah selesai dirinya sendiri pun juga pernah mengalami turbulensi dalam hidupnya. Namun, yang membedakannya adalah ia tidak menjadikan mentoring sebagai tujuan utama sejak awal.

Perjalanan kariernya sebagai coach justru dimulai setelah ia memperbaiki diri, lalu menceritakan nasil pembelajarannya di blog atau media sosial—dan dari situlah kesempatan untuk membimbing orang lain datang secara alami. 

Seperti yang pernah disampaikan oleh coach aku dalam diskusi personal di antara kami, "Nah, coach yang lain kadang kulihat, mereka belum selesai sama diri lalu ingin ngajarin orang lain. Niatnya langsung jadi coach, padahal kalau international coach yang aku ikuti, kayak Lenka Lutonska sama April Mason, mereka menyelesaikan masa lalu pahit mereka, bikin buku atau bisnis, baru mereka ngajarin orang, energinya beda.”

Jadi, tulisan ini bukan untuk menilai siapa yang lebih baik, melainkan sebagai pengingat bagi kita—para pembelajar—agar tetap berdaya dalam perjalanan mencari ilmu.

Ketika belajar dari seorang mentor atau coach, kita tetap perlu aktif dan kritis dalam menerima masukan. Karena pada akhirnya, keputusan atas hidup kita tetap ada di tangan kita sendiri.  

Pernahkah kalian berpikir tentang infertilitas—yang bisa dialami baik oleh perempuan maupun laki-laki—sebagai sebuah penyakit, bukan gangguan kesuburan?

Jujur, aku sendiri sempat ragu dalam menjawab pertanyaan tersebut. Ketika mendengar kata “penyakit”, otak aku otomatis berpikir tentang diabetes, penyakit kardiovaskular, stroke, kanker, dan lainnya. Infertilitas? Rasanya gak pernah masuk dalam daftar itu.

Banyak orang mungkin juga sama seperti aku, menganggap infertilitas adalah gangguan kesuburan. Karena dipersepsikan seperti itu, infertilitas sering kali gak dianggap sebagai sesuatu yang mendesak. Akibatnya, banyak pasangan baru menyadari masalah ini saat usia mereka sudah gak lagi muda.

Kondisi ini pun bisa berdampak pada berbagai aspek kehidupan—dari hubungan dengan pasangan, kesehatan mental, produktivitas kerja, kehidupan sosial, kesehatan fisik, hingga kondisi finansial.

Jadi, kalau melihat semua dampak ini, apakah infertilitas masih bisa dibilang sebagai gangguan kesuburan?

Menurut dr. Muhammad Dwi Priangga, Sp.OG, Subsp.FER, Direktur PT Kato Ojin Group sekaligus Kepala Klinik KOIC, infertilitas jelas merupakan penyakit. Hal ini ia tegaskan dalam konferensi pers "Mild Stimulation dalam IVF: Stimulasi Minimal, Hasil Maksimal – Langkah Pasti Menuju Garis Dua."

“Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan untuk hamil setelah 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, atau 6 bulan jika perempuan berusia 35 tahun ke atas,” ujar dr. Angga di acara yang aku hadiri pada Rabu (19/3). 

Mengenal Apa Saja Penyebab Infertilitas

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Penyebab infertilitas pun beragam. Pada perempuan, bisa karena infeksi, endometriosis, gangguan menstruasi, usia yang semakin bertambah, miom, PCOS, atau pola hidup yang kurang sehat.

Sementara pada laki-laki, bisa dipicu oleh kualitas sperma yang buruk, infeksi, kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol, serta faktor genetik. Bahkan, dalam 15-20 persen kasus, infertilitas terjadi tanpa penyebab yang jelas atau disebut infertilitas idiopatik.

Menghadapi fakta ini, kesadaran akan kesehatan reproduksi perlu ditingkatkan. WHO melaporkan bahwa sekitar 17,5 persen populasi dewasa—setidaknya satu dari enam orang di dunia—mengalami infertilitas.

Di Indonesia sendiri, dr. Angga menyampaikan bahwa data dari Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) menunjukkan bahwa 4-6 juta pasangan mengalami kesulitan untuk hamil secara alami. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya akses terhadap layanan kesuburan yang terjangkau dan berkualitas.

dr. Muhammad Dwi Priangga, Sp.OG, Subsp.FER, Direktur PT Kato Ojin Group sekaligus Kepala Klinik KOIC. (Foto: Birgitta Ajeng)

"Jika pasangan telah terdiagnosis mengalami infertilitas, langkah selanjutnya adalah memilih metode yang tepat untuk meningkatkan peluang kehamilan. Salah satu metode yang umum digunakan adalah In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung, yaitu proses pembuahan yang dilakukan di luar tubuh," kata dr. Angga.

Keberhasilan IVF dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti usia, kualitas embrio, cadangan sel telur, kondisi rahim, dan gaya hidup—termasuk pola makan, tingkat stres, kebiasaan merokok, serta berat badan.

Dengan semakin banyaknya pasangan yang menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk menggeser paradigma dan memahami bahwa infertilitas bukan gangguan, melainkan penyakit yang memerlukan perhatian dan penanganan serius. Kesadaran dini dan gaya hidup sehat bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan peluang memiliki buah hati.

Untuk para pejuang garis dua, perjalanan ini mungkin gak mudah, tetapi harapan selalu ada. Jangan ragu untuk mencari dukungan, tetap percaya, dan beri ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat di tengah ikhtiar yang dijalani. ❤️

Older Posts Home

Visitors in Past 30 Days

ABOUT ME

Hai! Aku Birgitta Ajeng, seorang penulis dengan pengalaman 12 tahun sebagai jurnalis dan editor di media cetak maupun digital, seperti Majalah Intisari, Women's Health Indonesia, Uzone.id, dan kumparan.com.
Selama menjadi jurnalis, aku meliput berbagai isu dalam skala nasional maupun internasional, mulai dari kesehatan, sosial dan pemberdayaan perempuan, hingga teknologi.
Aku juga menulis esai Istri-istri dalam Belenggu Kontrasepsi yang diterbitkan dalam buku Menjadi Perempuan oleh Magdalene.co melalui penerbit Elex Media Komputindo pada 2018.
Selama terjun ke industri, aku turut berdedikasi menciptakan karya jurnalistik yang mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi, sehingga bisa dinikmati di media sosial.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Review Adolescence Netflix: Pola Asuh Agresif & Gaslighting Lahirkan Monster dalam Diri Jamie?
  • Mencintai Diri Sendiri: Perjalanan Menemukan Arti Cinta di Dalam Diri
  • Mengenal Mild Stimulation IVF: Program Bayi Tabung dengan Pendekatan Lebih Lembut
  • Apa Bedanya Meditasi dan Berdoa?
  • Berdaya dalam Belajar: Pilih Mentor yang Sudah Berdamai dengan Diri Sendiri

Categories

  • Body Health 3
  • Mind Health 5
  • Parenting 2
  • Review 4
  • Wellness 10
  • Writing 101 4
Powered by Blogger

Labels

  • Mind Health
  • Writing 101
  • Body Health
  • Soul & Spirituality

Copyright © Birgitta Ajeng. Designed by OddThemes