Curhat atau konsultasi kesehatan mental dengan AI seperti ChatGPT mungkin sudah menjadi gaya hidup di era sekarang. Kita bisa sangat mudah bertanya soal kondisi psikologis hanya dengan menggerakkan jari, seakan-akan memiliki sosok yang selalu bersedia menyedia pundaknya dari AI.
Tapi, apa jadinya kalau seseorang terus-menerus mendapatkan afirmasi dan konfirmasi saat konsultasi kesehatan mental dengan AI—padahal pencetus teknologi ini saja memiliki perbedaan latar belakang budaya dengan kita?
Sebagai mahasiswa psikologi, saya tergelitik mencari tahu dampak jangka panjang dalam penggunaan AI untuk curhat. Karena itu, hal ini saya tanyakan kepada Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bagus Takwin, M.Hum., Psikolog, pembicara dalam UPH Health Sciences National Conference - Future of AI and Bioinformatics: Driving Excellence in Indonesian Healthcare.
![]() |
Foto: Birgitta Ajeng |
Studi-studi terkait hal tersebut telah ada sejak 2019, sementara trennya baru berkembang di Indonesia. Sependek pengamatan saya, diskusi mengenai dampak konsultasi kesehatan mental dengan AI juga baru bermunculan ke permukaan.
AI memang bisa membawa peluang dalam dunia psikologi. Beberapa yang disebutkan oleh Prof Bagus, yaitu mengatasi keterbatasan akses tenaga profesional, deteksi dini yang lebih akurat, pemantauan berkelanjutan, mengurangi beban tenaga profesional, dan pendukung keputusan.
Namun seperti dua sisi mata uang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan AI untuk konsultasi kesehatan mental. Prof Bagus mengingatkan pentingnya validitas ilmiah, privasi dan keamanan data, sensitivitas budaya dan konteks, serta literasi digital pengguna.
Lantas, apa dampak jangka panjang apabila seseorang terus-menerus saat konsultasi kesehatan mental dengan AI?
![]() |
Foto: Birgitta Ajeng |
Menurut Prof. Bagus, seseorang bisa jadi tidak bisa melihat apa yang nyata pada dirinya. Dalam psikologi, ada Self-Perception Theory yang menyatakan bahwa individu membentuk pemahaman tentang dirinya dengan mengamati perilakunya sendiri dan interaksi dengan orang lain.
“Orang itu mendefinisikan dirinya lewat tindakan dia dan interaksi dia dengan orang lain. Dia bertindak, dapat penguatan atau pelemahan dari orang lain, akhirnya dia punya pemahaman. Kalau dia diafirmasi terus-menerus, apakah kenyataan seperti atau tidak? Padahal kenyataannya bisa saja tidak bagus,” ujar Prof. Bagus.
Orang-orang, misalnya narsistik, memiliki kecenderungan untuk selalu mencari konfirmasi ke mana saja. Selain itu, orang-orang yang dependen juga akan mencari pihak-pihak yang dijadikan sandaran.
“Itu problem penggunaan AI dalam penanganan kesehatan mental. Dan AI juga bisa menjadi pihak yang merangkul, a shoulder to cry. (Orang-orang) yang ketergantung, akan ketergantung sampai akhirnya mungkin sama sekali tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri,” ungkap Prof Bagus.
Di sisi lain, AI kemungkinan juga bisa mengamplifikasi kecenderungan buruk pada seseorang. Jadi, orang-orang yang terus-menerus mencari afirmasi dan konfirmasi atas kondisi mentalnya melalui AI bisa hidup dalam bayang-bayangnya sendiri.