Saya adalah seorang istri sekaligus ibu dari satu anak perempuan yang memiliki ketertarikan terhadap dunia psikologi. Dalam berkarier sebagai jurnalis selama 12 tahun, saya sudah memiliki hubungan akrab dengan dunia kesehatan lewat liputan dan wawancara narasumber untuk kemudian saya ramu menjadi karya jurnalistik.
Tidak hanya meliput dan mewawancarai dokter sebagai bahan tulisan atau video, saya juga bertemu dengan psikolog. Saya masih ingat momen pertama bertemu psikolog saat hendak menulis soal pola asuh anak untuk tulisan saya di Majalah Intisari, Kompas Gramedia Majalah Group. Ketika itu, saya mewawancarai psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani di kantornya kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Seiring waktu, saya semakin sering menulis tentang topik-topik yang membutuhkan wawancara psikolog, mulai dari pola asuh, hubungan asmara, kesehatan mental, hingga pengembangan diri. Saya sempat terjun ke ranah teknologi dan gaya hidup saat bekerja, tapi ketertarikan saya terhadap dunia psikologi tak jua padam.
Saya masih memiliki tertarik membaca buku-buku pengembangan diri, seperti Berani Tidak Disukai karya Ichiro Kishimi & Fumitake Koga; When to Walk Away, Finding Freedom from Toxic People karya Gary Thomas; Boundary Boss, Berani Tentukan Batasan karya Terri Cole; dan lainnya.
Saya juga senang menonton film atau serial yang mengangkat isu kesehatan mental, pengembangan diri, atau psikologi. Pengetahuan yang saya dapat dari membaca buku dan menonton film atau serial sering saya bagikan di media sosial pribadi saya.
Dengan latar belakang tersebut, saya pun memutuskan memberi ruang untuk diri sendiri menekuni pendidikan psikologi secara formal. Dengan fondasi ilmu yang kuat, saya semakin bisa membagikan pengetahuan tentang pola asuh, hubungan asmara, kesehatan mental, hingga pengembangan diri untuk pemberdayaan sesama. Saya percaya bahwa ilmu yang terstruktur akan membantu saya memahami berbagai aspek psikologi dengan lebih mendalam dan dapat diaplikasikan secara lebih luas.
Pemberdayaan Diri Sendiri dan Sesama
![]() |
Ilustrasi: Unsplash |
Mengapa saya terpanggil untuk memberdayakan sesama? Ini semua tidak terlepas dari diri saya yang senang belajar dan mengolah diri. Saat menghadapi masalah dalam hidup, saya adalah tipe orang yang kerap menavigasi diri sendiri, mencari tahu sebabakibat, kemudian mencari solusi atas masalah saya. Saya percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk berkembang, asalkan memiliki akses terhadap informasi dan dukungan yang tepat.
Menekuni profesi jurnalis–yang membutuhkan kepekaan terhadap isu yang sedang berkembang dan kemampuan terjun langsung ke lapangan–juga semakin mengasah panggilan hati saya untuk dapat hadir di tengah masyarakat untuk membawa semangat pemberdayaan.
Saat pandemi COVID-19, misalnya, saya melihat orang-orang di sekitar–dan saya sendiri–mengalami kesedihan karena mendengar kabar duka atas kehilangan orang-orang terdekat secara bertubi-tubi. Di tengah kondisi yang tak pasti, kabar tersebut bisa jadi meruntuhkan pertahanan kesehatan mental banyak orang.
Saya pun tergerak menulis tentang self-healing di kumparanWOMAN, supaya para pembaca dapat mengolah emosi negatif secara tepat. Kala itu, saya menulis dengan sumber data dari hasil wawancara psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener.
Di masa depan, tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi serupa dapat terjadi. Krisis, pandemi, atau bencana bisa menjadi tantangan yang menggoyahkan keseimbangan emosional banyak orang, terutama mereka yang masih berusaha menemukan pijakan yang kuat dalam hidupnya.
Karena itu, saya ingin menempuh Program Studi Psikologi di Universitas Pelita Harapan untuk dapat menjadi terang bagi sesama. Dengan ilmu yang saya pelajari, saya berharap dapat memberikan dampak positif, baik bagi individu yang membutuhkan pertolongan maupun bagi masyarakat luas.
0 Comments